Oknum Camat dan Desa Diduga Ingin Perkaya Diri Dengan Cara Pungli

SAPU JAGAD | Sulteng – Maraknya kasus pungli yang dilakukan oleh sejumlah oknum dari berbagai tingkatan baik di kepemerintahan maupun swasta yang terjadi di berbagai Wilayah, Daerah bahkan sampai ke tingkat Desa. Tak jarang, para pelaku pungli terseret ke ranah hukum sampai masuk bui, namun kendati demikian rupanya tidak membuat jera para oknum pelaku pungli lainnya seperti yang terjadi di wilayah Kecamatan Bahodopi, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah.

Seperti yang disampaikan oleh inisial (GM) ia mengatakan, bagi masyarakat yang menjual tanahnya di dibebankan biaya pembuatan surat penyerahan sebesar 2,5% dari harga penjualan tanah,” tuturnya.

“Kalau semisal kita jual tanah dengan harga 100 juta, maka ada administrasi yang harus diselesaikan di Kecamatan sebesar 2,5% setara 2.500.000 (dua juta lima ratus  ribu rupiah ) dari hasil jual tanah,” kata (GM) Senin, (25/10/21).

Sementara, secara terpisah inisial (pi) Kepada wartawan mengatakan, dimana saat anaknya menjual sebidang tanah baru-baru ini seharga 18 jt, seperti yang disampaikan oleh inisial (GM) Tentang adanya biaya administrasi untuk pembuatan surat penyerahan di Kecamatan. Maka anak saya inisial (kk) dikenakan biaya untuk administrasi sebesar 2.5% yang penyerahan uangnya diserahkan ke Kecamatan Bahodopi.

“Baru-baru ini anak saya, kata (pi)  bayar 1 juta untuk surat penyerahan di Kecamatan,” bebernya melalui via telphone seluler kepada awak media. Selasa, (26/11/21).

Dengan adanya beban administrasi 2.5% yang di wajibkan oleh pihak pemerintah Kecamatan Bahodopi kepada warga masyarakat yang menjual lahan miliknya sendiri, kebijakan tersebut sangat dikeluhkan oleh sejumlah masyarakat Bahodopi,” imbuhnya.

“Saya juga mau tegur tapi tidak enak dan hal yang seperti ini baru ini terjadi, beda dengan pak Camat sebelumnya tidak dibebankan seperti ini,” kata (pi),

Ditempat terpisah, saat ditemui di rumahnya Camat Bahodopi bernama Bapak Tahir kepada wartawan ia menyampaikan bahwa pihaknya menbenarkan soal adanya biaya administrasi 2,5% tersebut.

“Info itu tidak salah, itu sudah ada sejak 6 Camat sebelum saya menjadi Camat Bahodopi, mulai dari Pak Abd Sukur yang menjadi Camat Bahodopi sampai sekarang,”ujar Tahir. Sabtu, (30/10/21).

Tahir menjelaskan awal adanya istilah biaya administrasi itu dimulai dari adanya BDM pada tahun 2007 atau awal turunnya PT IMIP,” katanya.

“Ada pembebasan massal pada waktu itu, untuk penyedian lokasi pembangunan kawasan industri IMIP, “ungkap tahir.

Lanjut tahir, pada saat itu masih status bekas garapan masyarakat, atau disebut tanah Ulayat, nah sebagai syarat legalitas IMIP yang selaku menbeli tanah sampai ribuan hektar  pada waktu mereka butuh legalitas supaya bisa mengajukan perizinan kawasan industrinya.

Pada tahun 2011 dan 2012 itu harga pembebasan lahan IMIP itu Rp 10.000/meter, nah pada saat itu dimusyawarahkan, masyarakat minta tolong untuk diukur kembali tanahnya,dan masalahnya pada waktu itu tanah masyarakat belum ada alasan hak kepemilikannya dalam bentuk sertifikat tapi berbentuk tanah Ulayat dan lain-lain sehingga pada waktu itu ada kebijakan pembuatan surat keterangan penguasaan tanah (SKPT).

Nah untuk SKPT berdasarkan surat keputusan Gubernur tahun 1993 itu bisa dibuat oleh Camat selaku PPATS di wilayah Kecamatan dalam bentuk surat penyerahan.

Pada saat mengukur dibutuhkan tenaga pengukuran, maka dilibatkanlah pemerintah Desa,Kecamatan dan pihak Perusahaan untuk mengukur lokasi, semua itu butuh biaya operasonal nah itu lah kronologis munculnya 2,5% itu hingga sekarang,” jelas tahir.

Selain itu ia juga menbantah jika hasil penjualan tanah masyarakat dibebankan biaya operasional atau dipungut administrasi SKPT.

“Ini pengaturan 2,5% di Desa dan 2,5% harga di Kecamatan penyerahanya tetapi bukan masyarakat tanggung itu tetapi pembeli yang biayai pengukuran ini sampai terbit administrasi pertanahannya itu, satu rupiah pun tidak pernah disentuh harga masyarakat,” ucap Tahir.

Ia juga menyayangkan sikap masyarakat yang menduga ada uang tanahnya yang dipotong 2,5% sebagai administrasi pembuatan surat penyerahan.

“Kita sudah melayani masyarakat dari berbagai kebijakan turun di lapangan mengukur batas sampai ke atas gunung tiba-tiba kok ada bahasa harga tanahnya yang dipotong,”sesal tahir.

Sebagaimana yang diakuinya, yang mana saat itu dirinya (Tahir) pernah menerima rasa tanda terimaksih atas jasa pengurusan surat penyerahan SKPT dari warga yang dibebankan kepada pihak kedua atau pembeli ada yang 2,5 % ada juga yang sekedar uang terimakasih dari masyarakat yang membeli,” kata Tahir.

Pungutan yang diambil dari pihak pembeli ini berdasarkan keputusan Gubernur tahun 1993 dan hasil musyawarah antara pihak pemerintah dan perusahaan pada saat pembebasan kawasan untuk kegiatan pertambangan, namun hal ini masi berlaku sampai saat ini dan hasil musyawarah tersebut tidak ada berita acara kesepakatan seperti yang disampaikan.

Lain hal nya dari keterangan yang disampaikan oleh Kasi Kepemerintahan (Kasipem) Kecamatan Bahodopi yang mana dari pengakuannya ia menyampaikan, bahwa pihaknya benar telah menerima uang dari masyarakat yang dibebankan kepada pihak kedua atau pembeli ada yang memberi 100 rb dan ada yang menberi 200 rb. Dan itu merupakan biaya operasional kami untuk turun ke lapangan karena biaya operasional kami untuk turun ke lapangan tidak mencukupi,” katanya.

Sebagaimana yang kita ketahui, pungutan uang yang dilakukan oleh sejumlah oknum di Kecamatan Bahodopi, Diduga tidak sesuai dengan lampiran peraturan pemerintah nomor 128 tahun 2015 tentang jenis dan tarif atas jenis pajak yang berlaku pada Kementrian Agraria dan tata ruang/ Badan pertanahan Nasional lll.f Nomor 2 Bahwa Harga
Penerbitan surat keterangan pendaftaran Tanah (SPKT) adalah sebesar RP 50.000 (lima puluh ribu rupiah).

Sementara, sejumlah warga masyarakat Bahodopi berharap hal ini bisa di hilangkan dan pihak yang berwenang dalam hal ini bisa mengambil langkah yang tegas dan aturan yang seharusnya yang sesuai dengan regulasi bisa diterapkan tanpa adanya uang tambahan dengan alasan untuk biaya operasional kerena hal tersebut sangat merugikan masyarakat.

Dengan adanya isu yang berkembang di masyarakat serta pengakuan dari sejumlah oknum di Kecamatan Bahodopi, membuat Kepala Desa Dampala ikut angkat bicara yang bahwasanya hal tersebut tidak ada regulasi yang mengatur, jika berbicara biaya operasional untuk pengukuran dan surfey maka statement itu keliru karena yang turun surfey ke lapangan adalah kami dari pemerintah Desa bukan dari Kecamatan,” tutur Kepala Desa Dampala saat ditemui awak media di Kantornya (01/11/2021).

Dengan adanya dugaan praktek pungli yang di lakukan oleh para oknum di Kecamatan Bahodopi, sudah disampaikan langsung kepada Bapak Kapolres Morowali yang akrab disapa Ardi dan tinggal menunggu informasi lebih lanjut. (13/11/2021).

Sejumlah warga masyarakat berharap kepada Bapak Kapolres Morowali agar segera menyikapi dengan tegas terhadap para pelaku yang diduga telah melakukan praktik pungli yang sangat merugikan banyak masyarakat. Dan jika dalam hal ini tidak ada tindakan dari Bapak Kapolres Morowali maka, hal ini akan kami sampaikan ke Team Saber Pugli baik Polda maupun Mabes Polri di Jakarta dengan harapan ada tindakan dari penegak hukum yaitu Polisi.

Dengan adanya tindakan dari pihak Kepolisian sebagai penegak hukum, kami sebagai masyarakat Bahodopi Sulawesi Tengah berharap agar kedepannya tidak ada lagi para oknum yang melakukan pungli. Apalagi, Visi dan Misi Bapak Presiden RI Joko Widodo selain membangun Indonesia untuk menjadi negara maju, juga memberantas praktek pungli yang marak dilakukan oleh sejumlah oknum di berbagai wilayah di sejumlah daerah. (Bang Erul/Red).

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below

No Responses

Tinggalkan Balasan