Oleh: Rian Hepi Pegiat Anti Korupsi
OPINI, Permasalahan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL), khususnya di pulau Jawa untuk desa dan Kelurahan. Semenjak di berlakukan Pemerintah melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, Menteri Dalam Negeri, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor: 25/SKB/V/2017, Nomor: 590-3167A Tahun 2017, Nomor: 34 Tahun 2017 tentang Pembiayaan Persiapan Pendaftaran Tanah Sistematis.
Di sebutkan untuk kategori V pulau Jawa dan bali biaya pemberkasan di patok Rp.150 ribu membuat gundah para kepala desa, pasalnya ada beberapa aduan yang bertentangan antara surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri dengan Peraturan Bupati (Perbup) di salah satu provinsi Jateng yang menyebutkan biaya hingga Rp. 600 ribu.
Dalam ketentuan apa saja yang harus di biayai?. Yakni biaya pengadaan dokumen penting, biaya pengangkutan pemasangan patok serta materai, dan biaya transportasi kelurahan/desa menuju ke Kantor Pertanahan dalam rangka perbaikan dokumen yang di perlukan.
Namun disini yang terjadi alih-alih biaya tersebut tidak cukup, karena mayoritas panitia pengurus tidak rela jika seharusnya bekerja menjadi tersita hanya untuk mengurus pemberkasan ini. Inilah penyebab maraknya pungli berjamaah terstruktur dan sistematis.
Bahkan ada lagi yang di kaitkan dengan ngudo roso (budaya ewuh pekewuh) untuk oknum petugas ukur seperti menjadi kewajiban tidak tertulis, pemohon ada yang di wajibkan untuk memberi transport. Jadilah mark up yang bertubi-tubi dari hasil kegiatan yang hanya bersifat gratis secara kamuflase ini.
Dalam peraturan surat keputusan bersama tiga menteri, PTSL tidak memerlukan RT. Sementara itu, dari oknum kelurahan atau desa diserahkan kepada ketua RT bagi siapa saja warga yang akan mendaftar.
Di sini banyak terjadi, ketua RT tidak dikasih biaya. Sebenarnya, Hanya untuk operasional, bahkan bisa dikatakan seolah-olah pihak pemerintah desa lepas tangan atau di serahkan sepenuhnya kepada masyarakat pemohon, padahal mereka hanya malu-malu kucing.
Baik pembentukan panitia maupun kesepakatan harga biaya pemberkasan. Tinggal bagaimana orang memaknai, bisa di katakan pungli atau tidak?. Nyatanya tidak semua kepala desa maupun pelaku panitia masuk bui, padahal prakteknya sama, hanya tergantung ada yang melaporkan atau tidak.
Dalam hal ini, panitia dan Kades bisa saja terjerat hukum di karenakan penyampaian kepada masyarakat tentang pengunaan anggaran biaya PTSL kurang lengkap serta kurang di jelaskan secara rinci dan detail, serta kurang bertangung jawab dalam pengunaan anggaran.
Semoga dengan tulisan saya ini, bisa bermakna dan menginspirasi untuk bersikap obyektif, bagaimana solusi yang terbaik untuk program yang sebenarnya di nanti-nantikan oleh masyarakat ini. (*****)
No Responses